Sabtu, 31 Maret 2012

SEBUAH KEAJAIBAN


Jam dinding sudah menunjukan pukul dua kurang seperempat. Di luar masih gelap. Semua orang sedang terlelap. Setelah 30 hari dibangunkan saur, ini hari pertama bisa kembali nyenyak tidur. Seharusnya aku juga sama seperti jutaan orang lain: TIDUR. Tapi mataku sama sekali jauh dari kantuk.

            Mau apa aku? Apa yang sebaiknya aku lakukan? Shalat malam, sudah. Tilawah alquran, sudah. Memasak hidangan lebaran, sudah, tinggal nanti dihangatkan saja seusai pulang shalat Ied. Menyetrika baju, sudah. Mencuci, sudah. Akudan pembantuku sudah merampungkansegala yang diperlukan untuk menyambut hari lebaran yang tinggal beberapa jam lagi. Apalagi yang bisa kukerjakan? Rasanya tidak enak hanya mondar-mandir dari tadi. Mau nonton, tak ada tanyangan bagus di TV. Huahhh, rasanya bete sekali!

            Seharusnya aku sedang berada di Padang sekarang. Ya. Seharusnya aku pulang,merayakan lebaran di rumahmasa kecilku—bersama sanak saudara, Ayah dan Ibu. Seharusnya aku memasak bersama ibu, menemaninya shalat Ied di masjid raya seperti lebaran ditahun-tahun sebelumnya. Seharusnya aku sungkem pada ibu, mencium tangannya, memohon maaf atas segala salah dan khilaf. Selama setahun ini aku telah banyak menyusahkan beliau, yakni dengan bersikap mengabaikan. Aku tak pernah menjenguknya juga jarang menanyakan kabarnya. Aku terlalu betah di Jakarta, mengisis setiap detik dengan kesibukan kerja. Kini di hariraya pun aku tak bisa pulang. Aku berjanji pada ibuku untuk pulang seminggu setelah lebaran, dengan menghindari arus mudik yang bakal merusak suasana perjalanan.

            Karena kantuk tak juga menghampiri, akhirnya aku masuk ke klinik. Melihat apakah masih ada berkas-berkas yang perlu dikerjakan. Aneh juga sih. Hari lebaran bukannya istirahat, malah kerja. Tapi entah apa yang membuatku duduk di sana, di meja kerjaku, di antara berpuluh-puluh peralatan medis—timbangan berat badan, spikmanometer, ranjang untuk pasien, wastafel, lemari obat-obatan... Sudah lima tahun aku mendirikan klinik ini, dan selama itu tak pernah sehari pun terlewat tanpa duduk di sini—memeriksa pasien, membantu proses kelahiran, dan sebagainya. Aneh juga kalau hari lebaran pun aku masih di sini. Benar kata Ibu, aku ini memang workaholic!

            Aku melayangkan pandangan ke sekitar. Klinik ini memang tidak terlalu besar. Hanya sebuah pavilium rumah berukuran seratus meter persegi yang disulap jadi ruang praktik. Aku dulunya seorang bidan, bekerja sendirian, namun sekarang sudah punya beberapa asisten, termasuk dua dokter umum yang kupekerjakan dengan cara di bayar per jam. Sekarang mereka berada di rumah, atau di kampung halaman masih-masing, demi menyambut Idul Fitri bersama keluarga.

            Aku sendirian dalam keheningan, mencoba mengira-ngira sudah berapa ribu tangis bayi yang kahir di tempat ini. Sudah berapa ribu ibu yang berhasil melewati saat-saat sulit bersalin di sini? Meski klinik ini tidak terlalu besar, di sini telah banyak tangis bayi yang mengubah tangis seorang ibu menjadi senyuman.

            Ketika sedang melihat-lihat sambil sesekali melamun, bel pintu berbunyi nyaring. Ning nong! Hampir saja aku melompat dari kursi Sangking kagetnya. Siapa yang datang malam-malam begini? Aku menyingkap gorden jendela, dan kulihat sebuah becak diparkir di halaman klinik. Seorang wanita muda dengan perut besar duduk di becak sambil meringis kesakitan. Oh tidak, aku tidak siap menerima pasien lagi. Ini masih dini hari, dan ini hari raya Idul Fitri!

            Tapi bel berbunyi makin nyaring. Sekarang bahkan diikuti ketukan keras di pintu. Tidak, bukan ketukan, melainkan gedoran. Dan teriakan panik, “Bu bidan, tolong buka pintunyaaa!!”

            Naluri kebidananku langsung mengalahkan rasa engganku. Segera kubuka pintu, dan di sana seorang lelaki muda sedang berdiri dengan raut panik. Tenggorokannya turun naik. “Bu... tolong... istri saya...” nafas pemuda itu terlalu terengah-engah untuk bisa berbicara dengan jelas. Rupanya dia sudah mengayuh becak dari tempat yang cukup jauh, membawa istri yang sedang kesakitan itu untuk sampai ke sini.

            “Cepat bawa dia masuk,” perintahku sambil membuka pintu klinik lebar-lebar. Kubantu si pemuda untuk membopong istrinya ke ruang bersalin. Kami membaringkannya di ranjang pasien.

            “Saya periksa dulu ya,” kataku lembut sambil membuka kaki wanita itu lebar-lebar. Mmh, rupanya sudah pembukaan tujuh. “Tadi ketubannya sudah pecah belum?” tanyaku.

            “Saya nggak tau, Bu,” ujar sang calon ibu, lemah. Setelah ku periksa, ternyata air ketubannya sudah pecah. Segera kupasang infusset di tangan kirinya.

            “Waktu melahirkannya kira-kira tiga jam lagi,” kataku. “Jadi untuk sementara saya tinggal dulu ya. Bapak silakan ikut saya.”

            Pemuda itu mengikutiku ke mejaku.aku mengeluarkan beberapa kertas berisi riwayat kehamilan, dan menyerahkannya ke pemuda itu untuk diisi. Dari data-data yang dia tulis, aku mengenal nama pemuda itu sebagai Ujang, dan istrinya yang sedang kesakitan bernama Mini. Ujang bekerja sebagai tukang becak, sedangkan istrinya membuka warung kecil-kecilan di rumah. Yang akan segera lahir adalah anak pertama mereka. Inilah yang menjelaskan kepanikan di wajahnya.

            “Pak Ujang sudah membawa perlengkapan ibu dan bayinya?” tanyaku. “Sudah, Bu bidan. Semua ada di becak.”

“Silakan bawa ke kamar rawat.” Kataku. Ujang segera melakukan apa yang kuperintahkan. Dia begitu panik, juga bersemangat. Hmm, kurasa dia suami yang baik. Benakku bertanya-tanya, ketika aku maulahir ke dunia apakah ayahku pun sepanik itu? Kurasa iya. Pasti.

Aku mengambil segelas air dingin dari kulkas. Dan menyerahkannya kepada Ujang. Perlahan kepanikan di wajah pemuda itu mereda, berganti permohonan. “Bu, saya mohon,tolong bantu istri saya supaya dapat melahirkan dengan selamat,” katanya.

Aku mengangguk pelan, “Insyaallah, pak Ujangberdoa saja. Kalau mau mau shalat malam, silakan. Mushola ada di belakang.”

Sementara Ujang pergi ke mushala, aku kembali ke ranjang pasien. Mini tengah mengerang kesakitan. Rupanya kontraksi di perutnya sudah semakin sering. Kuberikan suntikan epidural, tepat di tulang belakangnya. Dia menjerit, “Awww, sakiiit....”

“Tahan,” Kataku. Suntikan epidural memang menyakitkan, tulang belakang kita rasanya seperti dibor. “Tapi setelah ini, rasa sakit akibat kontraksi akan hilang.”

Tak terasa tiga jam hampir berlalu. Perutnya semakincepat berkontraksi—tanda bahwa bayi akan lahir tak lama lagi. Aku membimbingnya untuk mengejan. “seperti ini, huuuaahhh.. huuaahh...” contohku. Dengan dorongan semangat dari Ujangyang sudah berada di sampingnya, Mini melakukan apa yang kuminta. Dan dalam waktu tak terlalu lama, kepala sanga bayi pun mulai terlihat.

Masa tersakit dalam proses mwlahirkan adalah ketika kepala bayi sudah muncul, namun pundaknya belum. Inilah saat yang sedang di lalui Mini. Dia menjerit kesakitan sampai peluh membanjiri keningnya. Akudan Ujang semakin keras memberi semangat. “Ayo terus mengejan, jangan diam, jangan tidur, ya, ya begitu...”

Sambil membimbing Mini untuk terus mengejan. Kubiarkan benakku melayang . Ibu sedang apa sekarang? Mungkin sedang tidur, atau memikirkanku? Ibu memang masih menganggapku anak kecil, dan selalimencemaskan segala sesuatu. Melihat Mini yang sedang kesakitan, Aku jadi memikirkan ibuku. Mungkin seperti inilah ibu melahirkanku. Penuh rasa sakit, bagai perjuangan antara hidup dan mati...

Mini terus mengejan sekuat tenaga. Perlahan kepala sang bayi pun mulai keluar diikuti dengan seluruh badan dan kakinya. Dengan hati-hati segera kupangku bayi yang masih merah itu. Kubersihkan tubuhnya dengan handuk kering. Kubersihkan mulut dan hidungnya dengan menggunakan jeley. Kutepuk-tepuk badannya agar dia menangis. Dan tak lama kemudian, suara tangis kencang memecahkan keheningan.

“Alhamdulillah, persalinan ini berlangsung lancar, “pekikku gembira. Meski sudah bertahun-tahun membantu proses kelahiran, akuselalu merasa takjub setiap kali melihat bayi lahir dengan selamat. Betapa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Penciptaan manusia merupakan proses yang penuh keajaiban.

Kupakaikan kain bedong ke tubuh munggil itu, dan kuletakkan dia dalam dekapan ibunya. Rasa sakit yang tadi menguasai wajah dan tubuh sang ibu kini lenyap berganti senyuman. Setiap bayi yang lahir ke dunia memang selalu memberi rasa bahagia. Tidak hanya buat sang ibu, buat sang ayah, namun juga bagi orang-orang yang menyaksikannya, termasuk bidan yang membantu proses kelahirannya.

“Selamat ya, bayinya laki-laki, sehat, ganteng lagi kaya kak nazar, “ucapku sambil tersenyum.
Ujangdan Mini tak henti-hentinya mengucap syukur sambil mencium dam memeluk bayi mereka. Di luar, terdengar adzan subuh berkumandang. Ujang segera mengikuti seruan adzan dan membisikannya di telinga sang bayi. Lengkap sudah kebahagian mereka. Seperti itulah kebahagiaan Ayah dan Ibu ketika aku lahir ke dunia.

Dengan beribu perasaan, diam-diam aku meninggalkan kedua orang tua baru yang tengah berbahagia itu. Aku pergi ke mushala, mengambil air wudlu, dan menunaikan shalat subuh. Dalam doaku, terukir nama Ibu. Ya Allah, maafkan hamba yang kurang peduli padanya. Ibu telah menjadi perantara lahirku ke dunia. Dia telah bersusah payah mengandungku selama sembilan bulan, dan melahirkan kudangan perjuangan yang melelahkan. Namun, aku begitu egois hanya karena tak ingin sengsara di perjalanan yangcuma beberapa hari, aku menunda pulang, menunda untuk memberinya kebahagiaan. Putri macam apa aku ini? Maafkan hamba ya Allah. Jemariku segeramenekan sebuah nomor, “Ibu, aku akan segera pulang!”

Setelah puas mendengar suara ibu dan menumpahkan rasa bersalahku, aku kembali ke ruang bersalin. Ujang menghampiriku dengan pandangan menunduk. “Ada apa?” tanyaku, heran karena seharusnya dia gembira menyambut kelahiran anak pertama.

“Anu, Bu... Maafkan saya. Saya sungguh berterima kasih atas segala pertolongan ibu. Tapi... tapi saya hanya punya segini,” dia meraih kantong celananya dan mengeluarkan selembar uang duapuluh ribuan.
Aku menatap uang itu. Jumlah yang sangat sedikit dengan tarif yang biasa aku terima. Takkan menambah bekalku untuk pulang ke Padang! Tapi melihat bayi yang lahir itu, hatiku terselimuti kebahagiaan yang luar biasa. Bayiyanglahir di hari raya idul fitri merupakan bayi yang istimewa. Dia lahir di saat semua orang bergembira merayakan ibadah yang telah dijalanai sebulan penuh. Bayi itu sangat beruntung. Sama beruntungnya dengan diriku, yang telah di anugerahi kesempatan yang indah untuk sekadar membantu. Yang telah dianugerahi kesadaran akan arti pentingnya seorang ibu.

Aku segera menerima uang itu. Memasukan ke dalam amplop putih. Kemudian ke dalam amplop itu kutambahkan uangseratus ribu dari dompetku. “Ini terimalah, Pak Ujang. Sebagai hadiah lebaran buat bayi kalian.”

Di luar suara takbir berkumandang, menyelusupi seluruh pori-poriku. Sekarang aku tau, kenapa malam ini aku tak bisa tidur. Karena Allah SWT sudah merencanakan sebuah takdir untukku: di hari yang fitri ini aku akan menyaksikan satu lagi keajaiban tercipta ke muka bumi.

“Selamat lebaran,” bisikku pada sang bayi yang sedang tersenyum dengan mulutnya yang mungil menggemaskan.
***



Elie Mulyadi, Ramadhan di Musim Gugur

1 komentar:

Juliant mengatakan...

Terharu..

Posting Komentar